Senin, 03 Februari 2014

Solidaritas Bangsa: Akankah Terkikis waktu?

Senin, Februari 03, 2014 By Unknown


Oleh: Purwati Anggraini

Solidaritas: Beberapa Permasalahan
Solidaritas, sebuah kata yang akhir-akhir ini hangat diperbincangkan lantaran terkait dengan beberapa permasalahan. Salah satunya adalah persoalan persepakbolaan Indonesia. Ketika di tubuh PSSI sedang kisruh, masyarakat merasa bahwa PSSI adalah milik bangsa Indonesia, sehinga perlu diselamatkan. Masyarakat melakukan demonstrasi untuk menunjukkan solidaritasnya. Ketika salah satu tim sepakbola sedang berlaga, para pendukung menunjukkan kepedulian dan solidaritasnya untuk membela tim kesayangannya (terlebih jika timnya diperlakukan tidak adil), baik itu melalui pakaian, yel-yel, sampai mereka melakukan  tindakan yang tidak semestinya.
Selain persoalan sepak bola, beberapa tahun silam, bangsa Indonesia diresahkan dengan sikap Malaysia yang mengakui reog sebagai salah satu keseniannya. Bangsa Indonesia bersatu padu mempertahankan kesenian reog sebagai aset nasional yang tidak dapat ditukar dengan apapun, karena mereka menganggap aset tersebut merupakan kekayaan dan kehormatan bangsa. Kejadian ini membuat bangsa Indonesia menjadi semakin marah, lantaran Malaysia sudah beberapa kali melukai perasaan bangsa Indonesia. Dengan melihat semua kejadian ini, ada satu hal yang perlu dipertanyakan, apakah solidaritas hanya akan muncul ketika bangsa Indonesia sedang mengalami kesulitan atau sedang terinjak-injak harga dirinya?
Solidaritas merupakan sikap setia kawan atau sikap yang muncul karena merasa senasib sepenanggungan. Akhir-akhir ini, selain banyak diperbincangkan lantaran menyangkut beberapa persoalan, solidaritas juga menjadi sorotan lantaran sikap ini sedikit demi sedikit mulai pudar. Sebagai contoh, ada seorang mahasiswa sakit, sering kali teman-temannya belum bisa meluangkan waktu untuk menjenguk dan mendoakannya agar segera sembuh, bahkan mereka tidak mengetahui kalau ada salah satu temannya sakit. Keadaan ini berbanding terbalik ketika mahasiswa mengerjakan tes atau tugas. Rasa solidaritas akan cepat muncul ketika para mahasiswa sedang mengalami kesulitan dalam mengerjakan tes atau tugas. Tentu bentuk solidaritas yang terakhir ini merupakan sikap yang tidak semestinya.

Memunculkan Rasa Solidaritas
Beberapa puluh tahun silam, rasa memiliki dan perasaan senasib sepenanggungan lebih mudah dimunculkan atau lebih terlihat dibandingkan dengan keadaan sekarang ini. Solidaritas dapat muncul ketika hati manusia saling terpaut, namun jika hati manusia tidak saling terpaut satu sama lain, niscaya manusia tidak akan dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain atau tidak akan merasakan kepekaan sosial. Dengan demikian, pada akhirnya manusia akan menjadi individu yang memikirkan dirinya sendiri, menjadi orang yang individualis. Sebagai ilustrasi, marilah kita tengok suasana lebaran dari waktu ke waktu. Zaman dulu, orang bersuka cita merayakan lebaran. Pada malam lebaran, masyarakat keluar rumah untuk takbiran, membagi zakat fitrah, serta bersilaturrahim dengan tetangga. Saat ini, perkembangan teknologi sudah sedemikian pesatnya. Hampir semua orang akan memilih menyaksikan acara televisi di hari lebaran, lantaran masyarakat dimanjakan dengan berbagai hiburan yang akan menemani mereka mengisi liburan di hari lebaran. Saat ini masyarakat dimanjakan dengan kehadiran telepon genggam untuk mengirimkan ucapan selamat hari raya. Masyarakat tidak perlu menghabiskan waktu untuk bersilaturrahim dengan saudara yang rumahnya agak jauh, cukup menelepon atau mengirimkan SMS. Tanpa terasa, masyarakat sudah diperdaya oleh teknologi, sehingga sedikit demi sedikit hati mereka tidak saling terkait. Inilah salah satu penyebab rasa solidaritas sebagai sesama manusia menjadi semakin menipis.
Untuk itu, perlu adanya langkah cepat untuk memupuk kembali rasa solidaritas antarsesama agar masyarakat menjadi manusia yang berkarakter. Ada banyak cara memupuk rasa solidaritas antarsesama, salah satunya adalah dengan model pembelajaran sastra dengan pedagogi reflektif. Model pembelajaran ini berorientasi pada peserta didik dan mengutamakan nilai-nilai luhur. Pelaksanaan model pembelajaran ini ditempuh melalui siklus yang terdiri dari lima tahap, yaitu konteks, pengalaman, refleksi, tindakan, evaluasi (siklus berikutnya kembali lagi ke konteks). Dengan menggunakan model pembelajaran ini, peserta didik akan diajak untuk memahami kehidupan di sekelilingnya, diajak menganalisis, dan mengevaluasi semua kegiatan untuk memahami realitas dan menyimpulkannya dengan lebih baik. Pada tahap selanjutnya peserta didik akan melakukan refleksi sehingga ia mampu memahami pengetahuan yang diperoleh sekaligus menjadikan refleksi itu sebagai sebuah koreksi atas diri sendiri dan lingkungannya. Setelah melakukan refleksi, peserta didik diajak untuk mengaplikasikannya dalam tindakan. Sebagai contoh, setelah mahasiswa menganalisis amanat/pesan yang terkandung dalam sebuah novel, ia akan dapat bersikap atau bertindak sesuai dengan amanat tersebut. Tahap terakhir adalah evaluasi yang dilakukan secara menyeluruh dan meliputi aspek pengetahuan, perilaku, perkembangan pribadi, dan penentuan sikap yang berguna bagi sesamanya.

Solodaritas: Seberapa Pentingkah?
Solidaritas pada sesama manusia tentu harus dijaga, karena jika solidaritas sudah tidak ada, maka rasa empati pada sesama juga tidak akan muncul. Akibatnya, orang akan lebih mudah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kesuksesan atau apa yang diinginkan. Orang tidak akan memperhatikan kepentingan orang lain dan tidak mempedulikan dampak yang muncul atas tindakan yang dilakukan. Jika hal ini dibiarkan, maka akibatnya adalah kiamat akan semakin dekat.
Menjaga sikap solidaritas diperlukan semangat dan kemauan keras. Satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa kita harus dapat menempatkan rasa solidaritas untuk hal-hal yang semestinya, bukan untuk hal-hal yang melanggar norma atau aturan yang berlaku. Solidaritas juga harus dimunculkan setiap saat, di antaranya pada saat kita melihat ada sesuatu yang tidak beres di lingkungan sekitar atau kita melihat ada orang yang membutuhkan pertolongan. Dengan demikian kita akan menjadi pemimpin yang baik bagi diri kita sendiri, maupun bagi orang lain, dan tentu saja kita akan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan kita di hadapan Tuhan. Menjaga sikap solidaritas sangatlah mudah, kita mulai dari diri sendiri dengan cara terus mengasah kepekaan. Ketika kita dapat mengubah diri kita menjadi manusia yang lebih baik, maka orang lain dengan sendirinya juga akan mengubah diri mereka. Perubahan itu harus dimulai sekarang, sebelum semuanya terlambat.


*Penulis adalah staf pengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Universitas Muhammadiyah Malang