Oleh: Purwati Anggraini
Solidaritas, sebuah kata yang
akhir-akhir ini hangat diperbincangkan lantaran terkait dengan beberapa permasalahan.
Salah satunya adalah persoalan persepakbolaan Indonesia. Ketika di tubuh PSSI
sedang kisruh, masyarakat merasa bahwa PSSI adalah milik bangsa Indonesia,
sehinga perlu diselamatkan. Masyarakat melakukan demonstrasi untuk menunjukkan
solidaritasnya. Ketika salah satu tim sepakbola sedang berlaga, para pendukung
menunjukkan kepedulian dan solidaritasnya untuk membela tim kesayangannya
(terlebih jika timnya diperlakukan tidak adil), baik itu melalui pakaian, yel-yel,
sampai mereka melakukan tindakan yang
tidak semestinya.
Selain persoalan sepak bola, beberapa
tahun silam, bangsa Indonesia diresahkan dengan sikap Malaysia yang mengakui
reog sebagai salah satu keseniannya. Bangsa Indonesia bersatu padu
mempertahankan kesenian reog sebagai aset nasional yang tidak dapat ditukar
dengan apapun, karena mereka menganggap aset tersebut merupakan kekayaan dan
kehormatan bangsa. Kejadian ini
membuat bangsa Indonesia menjadi semakin marah, lantaran Malaysia sudah
beberapa kali melukai perasaan bangsa Indonesia. Dengan melihat semua kejadian
ini, ada satu hal yang perlu dipertanyakan, apakah solidaritas hanya akan
muncul ketika bangsa Indonesia sedang mengalami kesulitan atau sedang
terinjak-injak harga dirinya?
Solidaritas
merupakan sikap setia kawan atau sikap yang muncul karena merasa senasib
sepenanggungan. Akhir-akhir ini, selain banyak diperbincangkan lantaran menyangkut
beberapa persoalan, solidaritas juga menjadi sorotan lantaran sikap ini sedikit
demi sedikit mulai pudar. Sebagai contoh, ada seorang mahasiswa sakit, sering
kali teman-temannya belum bisa meluangkan waktu untuk menjenguk dan
mendoakannya agar segera sembuh, bahkan mereka tidak mengetahui kalau ada salah
satu temannya sakit. Keadaan ini berbanding terbalik ketika
mahasiswa mengerjakan tes atau tugas. Rasa solidaritas akan cepat muncul ketika
para mahasiswa sedang mengalami kesulitan dalam mengerjakan tes atau tugas.
Tentu bentuk solidaritas yang terakhir ini merupakan sikap yang tidak
semestinya.
Memunculkan Rasa
Solidaritas
Beberapa puluh tahun silam, rasa
memiliki dan perasaan senasib sepenanggungan lebih mudah dimunculkan atau lebih
terlihat dibandingkan dengan keadaan sekarang ini. Solidaritas dapat muncul
ketika hati manusia saling terpaut, namun jika hati manusia tidak saling terpaut
satu sama lain, niscaya manusia tidak akan dapat merasakan apa yang dirasakan
orang lain atau tidak akan merasakan kepekaan sosial. Dengan demikian, pada
akhirnya manusia akan menjadi individu yang memikirkan dirinya sendiri, menjadi
orang yang individualis. Sebagai ilustrasi, marilah kita tengok suasana lebaran
dari waktu ke waktu. Zaman dulu, orang bersuka cita merayakan lebaran. Pada
malam lebaran, masyarakat keluar rumah untuk takbiran, membagi zakat fitrah,
serta bersilaturrahim dengan tetangga. Saat ini, perkembangan teknologi sudah
sedemikian pesatnya. Hampir semua orang akan memilih menyaksikan acara televisi
di hari lebaran, lantaran masyarakat dimanjakan dengan berbagai hiburan yang
akan menemani mereka mengisi liburan di hari lebaran. Saat ini masyarakat
dimanjakan dengan kehadiran telepon genggam untuk mengirimkan ucapan selamat
hari raya. Masyarakat tidak perlu menghabiskan waktu untuk bersilaturrahim
dengan saudara yang rumahnya agak jauh, cukup menelepon atau mengirimkan SMS.
Tanpa terasa, masyarakat sudah diperdaya oleh teknologi, sehingga sedikit demi
sedikit hati mereka tidak saling terkait. Inilah salah satu penyebab rasa solidaritas sebagai sesama
manusia menjadi semakin menipis.
Untuk itu,
perlu adanya langkah cepat untuk memupuk kembali rasa solidaritas antarsesama
agar masyarakat menjadi manusia yang berkarakter. Ada banyak cara memupuk rasa
solidaritas antarsesama, salah satunya adalah dengan model pembelajaran sastra
dengan pedagogi reflektif. Model pembelajaran ini berorientasi pada peserta
didik dan mengutamakan nilai-nilai luhur. Pelaksanaan model pembelajaran ini
ditempuh melalui siklus yang terdiri dari lima tahap, yaitu konteks,
pengalaman, refleksi, tindakan, evaluasi (siklus berikutnya kembali lagi ke
konteks). Dengan menggunakan model pembelajaran ini, peserta didik akan diajak
untuk memahami kehidupan di sekelilingnya, diajak menganalisis, dan
mengevaluasi semua kegiatan untuk memahami realitas dan menyimpulkannya dengan
lebih baik. Pada tahap selanjutnya peserta didik akan melakukan refleksi
sehingga ia mampu memahami pengetahuan yang diperoleh sekaligus menjadikan
refleksi itu sebagai sebuah koreksi atas diri sendiri dan lingkungannya.
Setelah melakukan refleksi, peserta didik diajak untuk mengaplikasikannya dalam
tindakan. Sebagai contoh, setelah mahasiswa menganalisis amanat/pesan yang
terkandung dalam sebuah novel, ia akan dapat bersikap atau bertindak sesuai
dengan amanat tersebut. Tahap terakhir adalah evaluasi yang dilakukan secara
menyeluruh dan meliputi aspek pengetahuan, perilaku, perkembangan pribadi, dan
penentuan sikap yang berguna bagi sesamanya.
Solodaritas: Seberapa Pentingkah?
Solidaritas
pada sesama manusia tentu harus dijaga, karena jika solidaritas sudah tidak
ada, maka rasa empati pada sesama juga tidak akan muncul. Akibatnya, orang akan
lebih mudah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kesuksesan atau apa yang
diinginkan. Orang tidak akan memperhatikan kepentingan orang
lain dan tidak mempedulikan dampak yang muncul atas tindakan yang dilakukan.
Jika hal ini dibiarkan, maka akibatnya adalah kiamat akan semakin dekat.
Menjaga sikap solidaritas diperlukan
semangat dan kemauan keras. Satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa kita harus
dapat menempatkan rasa solidaritas untuk hal-hal yang semestinya, bukan untuk
hal-hal yang melanggar norma atau aturan yang berlaku. Solidaritas juga harus
dimunculkan setiap saat, di antaranya pada saat kita melihat ada sesuatu yang
tidak beres di lingkungan sekitar atau kita melihat ada orang yang membutuhkan
pertolongan. Dengan demikian kita akan menjadi pemimpin yang baik bagi diri
kita sendiri, maupun bagi orang lain, dan tentu saja kita akan dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan kita di hadapan Tuhan. Menjaga sikap solidaritas sangatlah mudah, kita mulai
dari diri sendiri dengan cara terus mengasah kepekaan. Ketika kita dapat
mengubah diri kita menjadi manusia yang lebih baik, maka orang lain dengan
sendirinya juga akan mengubah diri mereka. Perubahan itu harus dimulai
sekarang, sebelum semuanya terlambat.
*Penulis adalah staf pengajar di Program Studi Pendidikan
Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Universitas Muhammadiyah Malang