Sewaktu
aku masih kecil dulu aku selalu bertanya pada kakek bagaimana caranya menjadi
pahlawan. Kakek selalu tersenyum setiap kali aku bertanya begitu. Mungkin dia
berpikir Belanda dan Jepang sudah mendekam di Negara masing-masing untuk apa
menjadi pahlawan, kecuali menjadi pahlawan kesiangan di negeri korupsi ini.
Tapi ketika aku sudah mulai beranjak dewasa dan mulai mengenal susahnya kehidupan
jawaban kakek tidak sama lagi seperti dulu.
“Kakek
bagaimana caranya aku menjadi pahlawan? Tanyaku suatu ketika
“Benar
kah kau ingin menjadi Pahlawan?” dia balik bertanya padaku, pandangannya tak
lepas dari bambu yang diserutnya untuk dijadikan sangkar burung merpati.
“Ya”
jawabku sambil terus menatapnya
“Kau
cukup menjaga apa yang kau miliki itu sudah cukup untuk menjadi pahlawan”
jawabnya kemudian sambil menatapku.
“aku
tak mengerti maksudmu kek” ujarku kebingungan, wajar jika aku bingung karena
pada saat itu aku masih berumur 13 tahun, baru saja lulus SD (sekolah dasar).
“Sekarang
apa yang kau miliki?” Tanya kakek kemudian sambil menatapku
“Kau
dan merpati itu”jawabku sambil menunjuk merpati yang digantung di tiang depan
rumah.
“Berarti
kau harus menjaga merpati itu dan aku” jawabnya sambil tersenyum.
“Apa
itu dapat disebut pahlawan? Dan aku harus berperang dengan siapa? Tanyaku
polos.
“Jika
kau ingin menjadi pahlawan kau tidak harus berperang dengan penjajah atau siapa
pun kau cukup menjaga apa yang kau miliki itu juga dapat disebut pahlawan”
jawambnya dengan sabar sambil memencet hidungku penuh kasih sayang.
“Baiklah
aku akan menjadi pahlawan bagimu dan merpati itu, jika ada yang mengganggu
kalian maka mereka akan berhadapan denganku” ujarku dengan percaya diri
menirukan percakapan sinetron TV yang sering aku lihat.
“Tapi
aku ingin seperti pahlawan Cut Nyak Dien kek” ujarku kemudian. Kakek yang
beranjak dari duduknya, kembali duduk di sampingku.
“berarti
kau harus menjaga apapun yang ada di negeri ini, entah itu barang atau apa pun
seluruh isi yang ada di negeri ini itu namanya pahlawan negeri, mengerti ?
jawabnya sambil bertanya padaku”
“ya
… aku mengerti” jawabku singkat, sambil berpikir tentang kakek satu-satunya
orang yang aku miliki, berarti dia pahlawan bagiku dia telah menjagaku dan
selalu berusaha membuatku bahagia.
“Baiklah
kalau begitu, aku akan pergi ke balai desa mempersiapkan okolan sekalian latihan untuk pertunjukan nanti malam, kau jaga
rumah saja jangan kemna-mana. Kalau kau ingin bermain kunci pintu rumah” Ujar
kakek kemudian pergi meninggalkanku ke balai desa untk mempersiapkan
pertunjukan okolan nanti malam. Okolan adalah pertunjukan seni musik
yang diadakan ketika selesai lomba adu merpati. Pertunjukan ini sebagai rasa syukur
atas kemenangan lomba yang dilakukan antar desa. jika kalah pertunjukan ini
tetap dilakukan dengan tujuan untuk lomba berikutnya bisa menang. Alat-alat
musiknya diantaranya yang ku ketahui yaitu gamelan, beduk yang berukuran kecil,
suling serta alat musik semacam drum tapi jumlahnya tidak sebanyak drum. Kakek
sebagai penabuh beduk, dia sangat suka pertunjukan ini apalagi ketika desa ini
memenangkan adu merpati ia dengan sangat semangat menabuh beduk. Pertunjukan
ini termasuk pada seni musik tradisional hanya desa kami saja yang tahu akan
kesenian ini. Desa kami terletak di daerah Jawa Timur tepatnya di kabupaten
Probolinggo desa Kokonan.
Kesenian ini juga diwarisi secara turun
temurun oleh nenek moyang terdahulu tepatnya nenek moyang dari kakekku.
Sekalipun ini sudah ada sejak zaman dulu aku tidak yakin pemerintah peduli
terhadap kesenian ini, jangankan peduli tahu saja akan keberadaan kesenian ini
itu sudah untung. Jadi jangan salahkan kami sebagai rakyat di negeri ini jika
suatu ketika kesenian ini dimiliki oleh negara lain.
***
Malam harinya penduduk ramai memenuhi balai
desa, kulihat kakekku dari kejauhan begitu bersemangat menabuh beduk yang
terbuat dari kulit itu. Ku perhatikan laki-laki di simpingku dari tadi sibuk
megambil gambar. Sesekali dia melirikku sambil tersenyum. Apalagi ketika diiringi
nyanyian oleh Pak Matrei, yang berwajah gelap seperti menyimpan misteri di
balik wajahnya konon katanya dia memilki ilmu santet yang diturunkan dari
ayahnya. Aku antara percaya dan tidak sebab ia tidak pernah bermacam-macam
dengan keluargaku bahkan bisa dikatakan baik kepada keluargaku.
“Nirmala
apa arti dari nyanyian yng dinyanyikan Pak Matrei ini” Tanya laki-laki yang
mengambil gambar disampingku.
“Aku
juga tidak begitu mengerti Rei .. ini bahasa jawa kromo inggil jadi aku tidak
mengerti” jawabku padanya, dia sangat menyukai segala sesuatu di desa ini.
wajar jika ia menyukai tentang desa ini sebab ia pendatang dari Jakarta setahun
yang lalu. Ia bernama Reihan Abdillah orang pertama yang mengajarkan arti cinta
padaku, dia tidak pernah kurang ajar padaku. Ia sangat menyayangiku begitu juga
aku sangat menyayanginya, aku rela memberikan apapun padanya asal tentang dua
hal yang tidak dapat ku beri padanya, kakek dan kesucianku. Ia seagama denganku
jadi aku tidak khawatir tentang perbedaan keyakinan di antara kami. Tentang
hubungan kami semua orang di desa ini sudah mengetahuinya. Bagiku jika ditanya
laki-laki sempurna adalah dia, dia sangat baik padaku dan kakek, pada
tetanggaku pun dia baik. Dia tinggal sendirian di desa ini jarak tempat dia
tinggal sedikit jauh denganku ia berada di RT 01 sedangkan aku di RT 07. Dia sering
mengunjungiku di rumah. Yang aneh padanya bahasanya tidak seperti kebanyakan
orang Jakarta lainnya, ia lebih mirip orang Malaysia. Ketika ku tanya tentang
itu ia hanya tersenyum dan berkata bahwa waktu kecil ia pernah tinggal di
Kalimantan yang dekat dengan Malaysia sampai ia lulus SD. Setelah itu aku tidak
bertanya lagi yang terpenting dia adalah milikku dan tidak pernah menipu atau
membohongiku. Sekarang umurku sudah 19 tahun. Aku lepas sekolah setelah SMP
karena kakek tidak sanggup lagi membiayai sekolahku, mengingat pekerjaanya
sebagai penggali batu di sungai yang penghasilannya tidak seberapa tapi dia
tetap selalu berusaha memenuhi kebutuhannku. Dia menjadi pengganti kedua orang
tuaku yang meninggal karena kecelakaan ketika aku masih berumur dua tahun,
sedangkan nenekku meninggal baru 5 tahun yang lalu.
“Nirmala … sungguh kau tak tahu arti nyanyian
itu? Tanya Rei lagi seakan-akan tidak percaya dengan jawabanku.
“Apa
aku terlihat seperti orang berbohong pada mu Rei? Jawabku kemudian sambil
menatapnya.”Lalu untuk apa kau bertanya tentang arti lagu itu?” tanyaku lagi,
heran.
“Aku
hanya ingin tahu saja Nirmala, tak bolehkah ? Dia balik bertanya padaku.
“Oh
.. tidak mengapa nanti ku tanyakan pada kakek, ia pasti tahu artinya karena dia
memiliki catatan dan arti dari lagu ini” jawabku kemudian. Ku lihat dia
tersenyum seakan-akan telah mencapai keinginan yang selama ini didamba-damba.
“Terima
kasih ya sayang “ ucapnya sambil mencubit pipiku.
Setelah
pertunjukan okolan selesai ia
mengantarku pulang dengan motornya. Sebelum ia puang ia masih duduk di depan
teras menunggu sampai kakekku pulang baru ia pulang. Ketika akan masuk ke dalam
rumah ku lihat tas hitam di atas kursi tempat yang tadi diduduki Rei . kubawa
tas itu ke dalam rumah. Dasar kau pelupa,
ujarku dalam hati. Ku bawa tas itu ke kamar lalu kubuka, kulihat semua yang ada
di dalamnya. Sungguh aku kaget melihat apa isi tas itu, aku hampir mati berdiri.
Hari ini dunia tidak berpihak padaku.
***
Pagi-pagi
sekali Rei datang ke rumahku. Ekspresi wajahnya biasa saja seakan-akan semuanya
baik-baik saja, dengan wajah dingin aku menemui Rei.
“Kau
berbohong padaku” ucapku tanpa menyuruh ia duduk.
“Aku
berbohong apa padamu Nirmala?” tanyanya sedikit kaget.
“Jelaskan
padaku apa tujuanmu di desa ini Salim !” Ucapku dingin. Rei Kaget mendengar aku
menyebut nama aslinya.
“Tujuanku
adalah kamu” jawabnya tanpa melihat wajahku.
“Hemh,
dalam keadaan seperti ini pun kau masih berbohong padaku” ujarku sambil
mendengus.
“Aku
tidak berbohong padamu” jawabnya lemah sambil tertunduk lalu kemudian
melirikku,
“Apa
kau mencintaiku ?” Tanyaku lirih.
“Ya”
jawabnya hampir tidak terdengar.
“Apa
kau mencintaiku?” tanyaku lagi dengan intonasi lebih tinggi.
“Aku
sangat mencintaimu Nirmala” jawabnya sambil menatapku tajam.
“APA
KAU MENCINTAIKU ?!” Tanyaku dengan berteriak, orang yang lewat di depan rumah
menatap kami heran, mungkin mereka mengira ini masalah percintaan biasa, tapi
tidak ini masalah yang sangat serius. Masalah ini bukan hanya tentang aku dan
laki-laki di depanku ini, tapi juga dengan negeriku ini.
“DEMI
IBU YANG MELAHIRKANKU DAN ALLAH YANG MENCIPTAKANKU AKU MENCINTAIMU NIRMALA !!”
“LALU
APA GUNANYA SEMUA INI, BISAKAH KAU JELASKAN PADAKU BAHWA SEMUA INI BOHONG !!
Teriakku sambil melempar kertas-kertas yang ku keluarkan dari tasnya yang
tertinggal di rumah semalam, kertas-kertas itu terlempar tepat ke arah mukanya.
Ia kaget melihat kertas-kertas berisi syarat-syarat pengakuan kesenian UNESCO,
data-data tentang kesenian okolan
yang ia tulis, serta KTP asli miliknya. “Kau tidak mencintaiku, kau hanya
menginginkan sesuatu dariku” ucapku sinis padanya.
“Aku
mencintaimu Nirmala” ucapnya, smbil menatapku.
“Kalau kau mencintaiku, tinggallah di sini
bersamaku dan jangan pernah kembali lagi ke negaramu.”
“Tapi
aku juga mencintai negaraku Nirmala”
“Persetan
dengan negaramu” Ucapku sinis sambil mentapnya tajam.
“Tinggallah
bersamaku di negaraku, kau akan hidup bahagia Nirmala” ucapnya sambil memegang
tanganku.
“Lupakan
semua tentang kita”
“Kau
serakah Nirmala, negaramu memiliki berjuta-juta kesenian. Setiap daerah yang
ada di sini memiliki kesenian adat dan istiadat berbeda. Jadi jika aku hanya mengambilnya
satu saja itu tidak akan berarti apa-apa bagi negaramu” ujarnya datar padaku.
“Kau
yang serakah! Tidak cukupkah kau dan negaramu mengambil Ambalat dari kami ?!
tarian tor-tor kalian akui menjadi milik kalian. Batik hampir kalian ambil jika
kami tidak bertindak, lalu siapakah yang serakah negaraku atau negaramu?!”
balasku berapi-api.
“Aku
akan menggantinya dengan uang Nirmala, aku bukan hanya sekedar mengambil saja”.
pernyataannya mengagetkanku.
“Uang
katamu ! kau pikir kau siapa bisa mengambil seenaknya saja. kau pikir kami
penjual hah !? ucapku sambil menunjuk-nunjuk mukanya dengan geram, terang saja
dia kaget selama mengenalku dia tidak pernah melihatku semarah ini, dia hanya
mengenalku dengan sosok gadis yang lembut, tidak pernah marah wajar jika dia
sangat mencintaiku.
“Kau
pikirkan baik-baik apa negaramu peduli dengan okolan yang kalian miliki,
apa mereka pernah berniat untuk menjaga dan melestarikannya, tidak Nirmala
tidak ! bahkan mereka tidak peduli
dengan kesenian itu. Apa gunanya kau mempertahankan sedangkan si Empunya sendiri tak tahu dengan apa yang
mereka miliki” kali intonasi Salim lebih tinggi.
“Aku
tidak peduli mereka tahu atau tidak, aku hanya ingin menjaga apa yang ku miliki
dan tidak akan pernah membaginya dengan negaramu” ucapku datar, kali ini
intonasi suaraku lemah. Terbesit dalam pikiranku membenarkan perkataan Salim,
ya pemerintah tidak peduli akan semua ini jadi apa gunanya aku bertahan sendiri
sedangkan si empunya tidak tahu
menahu. Tapi perasaan benciku terhadap Malaysia sudah tidak dapat dibendung
lagi apapun alasannya aku tidak akan pernah berniat untuk membagi apa yang dimiliki
negara ini dengan mereka.
“Pikirkan
baik-baik Nirmala” ucap Salim kemudian merangkul bahuku.
“Salim
negaraku adalah Negara hukum. Pemalsuan nama dan berusaha mengambil apa yang dimiliki
negara ini akan berurusan dengan polisi. Jadi sebelum aku berniat untuk
melaporkanmu pada pihak yang berwajib segera pergilah dari hadapanku” ucapku
lemah pada Salim. Air mataku hampir tumpah jika aku tidak menahannya.
Sebenarnya aku ingin dia di sini siapapun dia dan dari manapun dia, karena aku sangat menyayanginya. “Pergilah
Salim dan jangan pernah kembali lagi” suruhku sambil mendorongnya keluar ke
halaman rumah.
“Apa di antara kita hanya aku yang
mencintaimu, tidak kah kau mencintaiku juga Nirmala?”
Tanya
salim sambil memegang pundakku dan menatap wajahku dalam-dalam.
“Tidak”
jawabku pendek dan membuang muka.
“Baiklah
katakan pada kakekkmu suruh orang di desa ini berkumpul dan hakimi aku, aku
tidak peduli karena semua ini salahku” ucapnya ada nada kekecewaan di sana.
Lalu dia pergi
***
Malam
harinya semua orang berkumpul, termasuk Pak Matrei, kakekku juga di sana tanpa
Pak kepala desa musyawarah ini berjalan dengan sendirinya, entah kemana Pak
kepala desa itu kami tidak tahu. Aku tak tahu bagaimana nanti jadinya,
arsip-arsip tentang lagu kromo inggil
yang dinyanyikan oleh Pak Materi semua ada di kakekku, arsip itu hanya berupa
lembaran kertas yang ditulis dalam huruf jawa, dan diturunkan secara turun
temurun oleh keluarga ini. warnanya sudah kuning kecoklatan dan tulisannya juga
hampir pudar. Aku khawatir kakek dipaksa oleh orang-orang untuk menyetujui
permintaan Salim. Tapi aku sudah mewanti-wanti pada kakek untuk tidak tergoda
dengan iming-iming uang yang akan diberikan Salim.
“Baiklah
akan saya beritahu tujuanku di desa ini, selain Nirmala…” Salim melirikku
sebentar lalu melanjutkan perkataannya lagi. “ Aku berasal dari Malaysia nama
asliku adalah Salim dan mengadakan penelitian tentang kesenian di desa yang
nantinya akan mendapat pengakuan dari dunia. Jika kalian setuju dengan apa yang
aku ajukan, aku akan memberi imbalan uang senilai 20 juta sebagai gantinya”
ucap Salim kemudian tertunduk.
“Wah
.. 20 juta lumayan nanti kita bagi bersama kelompok okolan” sambut Pak Matrei spontan yang membuatku kaget. Sekali lagi
Salim melirikku dengan ekspresi datar.
“Ya
.. aku juga setuju” sahut salah seorang dari kelompok okolan yang disambut dengan anggukan oleh yang lain.
“Aku
tidak setuju, bagaimanapun okolan adalah
milik negara yang tidak dapat ditukar dengan uang” belaku. Semua orang
menatapku dengan heran sekaligus kaget.
“Apa maksudmu Nirmala, uang 20 juta berapa tahun dan
berapa truk batu yang akan dikumpulkan kakekkmu untuk mengumpulkan uang
sebanyak itu” ucap Pak Matrei sambil menatapku tajam ke arahku.
“Malaysia
sudah mengambil Ambalat apa kalian tidak marah pada mereka?!” tanyaku kemudian.
“Heh
Nirmala itu bukan tugas kita menjaga Negara ini, lagian pemerintah juga tidak
peduli dengan kita. Kau lihat Sarmili warga desa sebelah mati gara-gara
kelaparan, lalu apa kau lihat pemerintah menangani kelaparan di desa sebelah.
Entah siapa yang akan mati minggu ini karena kelaparan, kau tidak usah
muluk-muluk dalam hidup ini, kasian kakekmu yang sudah tua seharusnya kau
berpikir jernih tentang kehidupan selanjutnya. Bukan menjadi pahlawan di siang
bolong seperti ini”. kali ini pak Matrei berkata mengenai ulu hati.
Perkataannya memang benar tidak ada yang peduli dengan kami. Yang mereka
butuhkan adalah uang hanya untuk bertahan hidup. Jika mereka hidup mewah
seperti pejabat yang hidup dengan uang korupsi. Mungkin mereka akan bisa
berpikir untuk menjaga apa yang dimiliki Negara ini. wajar saja jika mereka
begitu.
“Sekarang
terserah Pak Rawi, sebagai keturunan pemilik okolan dan kami harap Pak Rawi bisa menerima permintaan nak Salim.”
Ucap salah seorang anggota okolan
menyebutkan nama kakekku.
“Keturunannku
adalah Nirmala jadi tindakan Nirmala tadi adalah jawabanku” jawab kakek tenang.
Semua mata menatap kami yang duduk bersebelahan. Aku tahu mereka geram dengan
tindakan kami. Musyarah ini selesai pada jam setengah dua belas malam yang di
mulai sejak habis magrib, dengan beberapa perdebatan yang menerkam aku dan
kakek. Ketika akan pulang Pak Matrei menghampiriku yang sedang bersama Salim
akan pulang ke rumah, meskipun hubunganku dan Salim sedang tidak baik tapi
tidak dapat dipungkiri kami saling menyayangi dan tidak tahu bagaimana nanti
jadinya pisah atau tetap bersama dengan masalah yang rumit ini melibatkan misi
Negara masing-masing.
“Aku
tidak pernah berniat untuk melukai siapapun Nirmala, jadi sebelum aku berbuat
sesuatu padamu pikirkan baik-baik tentang permintaan Salim.” Ucapnya datar
tanpa melihatku.
“Apa
yang akan kau perbuat pada cucuku?” Tanya kakek dari arah belakang kami.
“Kau
tidak usah membelanya dan jangan kau pungkiri bahwa kau juga membutuhkan uang
itu” ucap Pak Matrei pada kakek sinis.
“Nirmala
jangan pedulikan ucapannya pulanglah sudah larut malam” perintah kakek. Aku dan
Salim pun pergi meninggalkan kakek dan Pak Matrei, di tengah perjalanan Salim
bertanya.
“Sepertinya
Pak Matrei ingin melukaimu Nirmala?” ucapnya sambil menatapku.
“Ya
mungkin dia akan menyantetku jika aku tidak menuruti kemauanmu” jawabku sambil menghentikan
langkahku, lalu menatap Salim dalam-dalam.
“Apa
dia sekejam itu?” Tanyanya lagi.
“ya
“ jawabku pendek.
“Nirmala
maafkanku membuat hidupmu rumit.” Ucap Salim sambil memelukku.
“Bukankah
ini yang kau mau Salim, ketika aku mati nanti kau bisa leluasa mengambil segala
sesuatu yang kau mau di negeri ini” ucapku lirih, air mataku menetes tak dapat
dibendung lagi. Salim menghapus air mataku lalu memelukku lagi.
***
Pagi-pagi
sehabis sholat subuh aku membuka jendela kamar agar udara di dalam tidak
pengap. Namun aku hampir mati berdiri pada saat itu.
“Arrrgggghhhhh
….!!!” Aku menjerit ketakutan melihat bangkai ayam penuh darah tergantum di
luar jendela. Kakek menghampiriku dia kaget namun sejurus kemudian dia mebuang
bangkai ayam yang tergantung di luar jendela kamarku. Ini pertanda bahwa
kematian mengancamku.
“Tenang
nak ..” ucap kakekku sambil memelukku yang masih ketakutan. Lalu kemudian dia
pergi keluar rumah. Aku tahu dia menuju ke rumah Pak Matrei siapa lagi di desa
yang berprilaku aneh selain dia. Beberapa saat setelah kakek pergi Salim
datang. Aku menceritakan perihal bangkai ayam itu, dia kaget ketika kujelaskan
apa arti dari teror itu. Dia berkali-kali meminta maaf padaku.
***
Malam
itu malam jumat manis, entah kenapa aku tidak bisa tidur. Lalu ku buka jendela
kamarku, ada banyangan orang berjalan merinding bulu kudukku. Apalagi di desa
ini terutama di RT ku masih percaya dengan ilmu hitam, antar percaya dan tidak
tapi beberapa kenyataan di sekelilingku banyak orang mati yang tidak diketahui
penyakitnya apa, dan anehnya lagi mereka mengeluarkan paku, jarum dan jenis
besi lainnya dari mulut mereka. kenyataan itu memaksaku untuk percaya. Srek.. srek terdengar orang
mengorek-ngorek tanah di samping luar jendela kamarku, ku longokkan kepalaku
sedikit keluar alangkah kagetnya ku lihat Pak Matrei bertelanjang bulat sambil
menggali tanah di luar jendala, dia tidak melihatku lalu aku langsung lari ke
ranjang menutupi tubuhku dengan selimut. Aku gemetar seumur hidupku aku belum
pernah melihat orang yang bertelanjang bulat seperti itu. Benar ternyata ilmu pelet
itu nyata.
***
Paginya
kakek menggali tanah bekas galian Pak Matrei yang sudah tertutup rata. Tidak
ditemukan apa-apa di sana. Entahlah aku bingung sendiri. Akhirnya beberapa
minggu kemudian aku sakit panas kadang aku kedinginan. Salim sibuk merawatku
sedangkan kakek kebingungan takut terjadi apa-apa denganku dia jarang tidur
malam menungguiku sampai aku tertidur.
Akhirnya
pada suatu malam Pak Matrei menjengukku, ku lihat raut wajah kakek tidak
bersahabat atas kedatangan Pak Matrei.
“Nirmala
kalau kau mau menerima tawaran Salim aku akan membantu menyembuhkanmu” ucapnya
datar, pada saat itu aku sudah sakit parah tubuhku yang dulunya ramping,
berkulit kuning langsat, sekarang hanya tinggal tulang kurus sekali, kulitku
pucat tak seindah dulu. Wajahku yang biasanya tampak manis jika dilihat
sekarang pucat pasi seperti mayat hidup.
“Jika
aku harus mati pun aku tak kan menyetujui permintaan Salim” ucapku tegas.
“Kau
keras kepala sama seperti kakekmu” ucapnya dengan nada sinis, sambil melirik
kakekku.
“Kau
apakan Nirmala Matrei?.” Tanya kakekku tajam pada laki-laki berwajah gelap di
depanku ini.
“Hahahaha
kau selalu menuduhku yang bukan-bukan” Jawabnya lalu pergi.
“KALAU
SAMPAI TERJADI APA-APA DENGAN NIRMALA AKAN KU CONGKEL MATAMU !! Teriak kakekku
murka. Matrei hanya tertawa mendengar teriakan kakekku. Salim yang kebetulan
ada di sini tertunduk lesu, sepertinya dia merasa bersalah atas sakitku.
“Salim
tidak bisakah kau berhenti untuk meneliti tentang okolan ? lihatlah karena ulahmu Nirmala sakit parah.” Ucap kakek
dengan nada kesal. Salim hanya terdiam membisu.
***
Paginya
aku langsung mengigil sesekali aku berteriak karena sakit di bagian perutku,
terkadang pusing menyerang kepalaku dan tak terhingga sakitnya. Minggu lalu aku
dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang hanya sakit biasa, tapi ketika memeriksa
perutku yang mengeras seperti batu dokter bilang belum diketahui jenis
penyakitnya. Akhirnya uang persediaan kakek untukku pun sudah habis, kakek
tidak mampu mengobatiku lagi atau hanya sekedar periksa lagi ke dokter.
“Nirmala
ini uang untukmu berobatlah ke dokter agar kau sembuh” ucap Salim sambil
memberikan sepuluh lembar uang lima puluh ribuan.
“Tidak
Salim” jawabku pendek.
“Uang
ini tidak ada sangkut pautnya dengan okolan
itu, ini dariku sebagai orang yang menyayangimu.” Ucapnya meyakinkanku. Aku
tidak menjawab juga tidak mengambil uang pemberian Salim.
“Salim
jika aku mati apa kau akan tetap di sini?” tanyaku lemah, Salim kaget dengan
pertanyaanku.
“Maksudmu
apa?” Tanyanya seraya memegang tanganku.
“Sakitku
sudah parah, jangankan berjalan berdiri saja aku sudah tidak kuat” ucapku lagi.
“Kau
tidak boleh mati, aku akan merawatmu sampai kau sembuh lalu kita akan menikah
dan hidup bahagia.” Salim menangis, untuk pertama kalinya ku lihat ia menangis.
“Lalu
bagaimana dengan penelitianmu tentang okolan
itu? Tanyaku sambil menatapnya.
“Entahlah
Nirmala sepertinya aku tak sanggup lagi melihatmu seperti ini, semua ini karena
aku, semua ini salahku” jwabnya terbata-bata sambil menangis sesenggukan, ia
menciumi tanganku.
“Salim
apakah kau menyayangiku?” tanyaku sambil tersenyum padanya.
“Kenapa
kau selalu bertanya begitu padaku? Apa karena aku sempat membohongimu kau
meragukan cintaku?” Tanya Salim balik. “Sungguh aku sangat takut kehilanganmu
Nirmala, aku mohon jangan pergi temani aku Nirmala aku membutuhkanmu dalam
hidup ini.” Ucapnya sambil terus menangis.
“Tolong
kau jaga kakekku Salim, jika kau sudah pergi dari Negara ini, tengoklah dia
sesekali” pintaku pada Salim, Salim hanya tertunduk. “Salim …” panggilku. Salim
menatapku lalu mendekapku. “Salim aku mencintaimu “ Ucapku pelan, Salim tambah
erat memelukku.
“Nirmala
aku mohon bertahanlah” Salim membopongku hendak membawaku ke rumah sakit, air
matanya menetes ke pipiku.
“Salim
berhentilah tidak ada gunanya kau membawaku ke dokter semuanya akan sia-sia”
Pintaku. Salim kemudian berhenti ketika sudah sampai di halaman rumah, kakek
mengikuti kami dari belakang, sekilas ku lihat ia menangis.
“Salim
… jika aku mati aku ingin mati dalam kebaikan, Selain Tuhan yang menciptakanku
dan orang tua yang melahirkanku, di dunia ini kau dan kakeklah yang aku
sayangi, jadi jika aku mati aku berharap kau menjaga kakek untukku” ucapku
pelan setelah itu aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Sekilas ku dengar jeritan
kakek dan Salim memanggil-manggil namaku.
0 komentar:
Posting Komentar