Selasa, 04 Februari 2014

Persembahan Nyawa Untuk Negeriku

Selasa, Februari 04, 2014 By Unknown No comments

Sewaktu aku masih kecil dulu aku selalu bertanya pada kakek bagaimana caranya menjadi pahlawan. Kakek selalu tersenyum setiap kali aku bertanya begitu. Mungkin dia berpikir Belanda dan Jepang sudah mendekam di Negara masing-masing untuk apa menjadi pahlawan, kecuali menjadi pahlawan kesiangan di negeri korupsi ini. Tapi ketika aku sudah mulai beranjak dewasa dan mulai mengenal susahnya kehidupan jawaban kakek tidak sama lagi seperti dulu.
“Kakek bagaimana caranya aku menjadi pahlawan? Tanyaku suatu ketika
“Benar kah kau ingin menjadi Pahlawan?” dia balik bertanya padaku, pandangannya tak lepas dari bambu yang diserutnya untuk dijadikan sangkar burung merpati.
“Ya” jawabku sambil terus menatapnya
“Kau cukup menjaga apa yang kau miliki itu sudah cukup untuk menjadi pahlawan” jawabnya kemudian sambil menatapku.
“aku tak mengerti maksudmu kek” ujarku kebingungan, wajar jika aku bingung karena pada saat itu aku masih berumur 13 tahun, baru saja lulus SD (sekolah dasar).
“Sekarang apa yang kau miliki?” Tanya kakek kemudian sambil menatapku
“Kau dan merpati itu”jawabku sambil menunjuk merpati yang digantung di tiang depan rumah.
“Berarti kau harus menjaga merpati itu dan aku” jawabnya sambil tersenyum.
“Apa itu dapat disebut pahlawan? Dan aku harus berperang dengan siapa? Tanyaku polos.
“Jika kau ingin menjadi pahlawan kau tidak harus berperang dengan penjajah atau siapa pun kau cukup menjaga apa yang kau miliki itu juga dapat disebut pahlawan” jawambnya dengan sabar sambil memencet hidungku penuh kasih sayang.
“Baiklah aku akan menjadi pahlawan bagimu dan merpati itu, jika ada yang mengganggu kalian maka mereka akan berhadapan denganku” ujarku dengan percaya diri menirukan percakapan sinetron TV yang sering aku lihat.
“Tapi aku ingin seperti pahlawan Cut Nyak Dien kek” ujarku kemudian. Kakek yang beranjak dari duduknya, kembali duduk di sampingku.
“berarti kau harus menjaga apapun yang ada di negeri ini, entah itu barang atau apa pun seluruh isi yang ada di negeri ini itu namanya pahlawan negeri, mengerti ? jawabnya sambil bertanya padaku”
“ya … aku mengerti” jawabku singkat, sambil berpikir tentang kakek satu-satunya orang yang aku miliki, berarti dia pahlawan bagiku dia telah menjagaku dan selalu berusaha membuatku bahagia.
“Baiklah kalau begitu, aku akan pergi ke balai desa mempersiapkan okolan sekalian latihan untuk pertunjukan nanti malam, kau jaga rumah saja jangan kemna-mana. Kalau kau ingin bermain kunci pintu rumah” Ujar kakek kemudian pergi meninggalkanku ke balai desa untk mempersiapkan pertunjukan okolan nanti malam. Okolan adalah pertunjukan seni musik yang diadakan ketika selesai lomba adu merpati. Pertunjukan ini sebagai rasa syukur atas kemenangan lomba yang dilakukan antar desa. jika kalah pertunjukan ini tetap dilakukan dengan tujuan untuk lomba berikutnya bisa menang. Alat-alat musiknya diantaranya yang ku ketahui yaitu gamelan, beduk yang berukuran kecil, suling serta alat musik semacam drum tapi jumlahnya tidak sebanyak drum. Kakek sebagai penabuh beduk, dia sangat suka pertunjukan ini apalagi ketika desa ini memenangkan adu merpati ia dengan sangat semangat menabuh beduk. Pertunjukan ini termasuk pada seni musik tradisional hanya desa kami saja yang tahu akan kesenian ini. Desa kami terletak di daerah Jawa Timur tepatnya di kabupaten Probolinggo desa Kokonan.
 Kesenian ini juga diwarisi secara turun temurun oleh nenek moyang terdahulu tepatnya nenek moyang dari kakekku. Sekalipun ini sudah ada sejak zaman dulu aku tidak yakin pemerintah peduli terhadap kesenian ini, jangankan peduli tahu saja akan keberadaan kesenian ini itu sudah untung. Jadi jangan salahkan kami sebagai rakyat di negeri ini jika suatu ketika kesenian ini dimiliki oleh negara lain.
***
 Malam harinya penduduk ramai memenuhi balai desa, kulihat kakekku dari kejauhan begitu bersemangat menabuh beduk yang terbuat dari kulit itu. Ku perhatikan laki-laki di simpingku dari tadi sibuk megambil gambar. Sesekali dia melirikku sambil tersenyum. Apalagi ketika diiringi nyanyian oleh Pak Matrei, yang berwajah gelap seperti menyimpan misteri di balik wajahnya konon katanya dia memilki ilmu santet yang diturunkan dari ayahnya. Aku antara percaya dan tidak sebab ia tidak pernah bermacam-macam dengan keluargaku bahkan bisa dikatakan baik kepada keluargaku.
“Nirmala apa arti dari nyanyian yng dinyanyikan Pak Matrei ini” Tanya laki-laki yang mengambil gambar disampingku.
“Aku juga tidak begitu mengerti Rei .. ini bahasa jawa kromo inggil  jadi aku tidak mengerti” jawabku padanya, dia sangat menyukai segala sesuatu di desa ini. wajar jika ia menyukai tentang desa ini sebab ia pendatang dari Jakarta setahun yang lalu. Ia bernama Reihan Abdillah orang pertama yang mengajarkan arti cinta padaku, dia tidak pernah kurang ajar padaku. Ia sangat menyayangiku begitu juga aku sangat menyayanginya, aku rela memberikan apapun padanya asal tentang dua hal yang tidak dapat ku beri padanya, kakek dan kesucianku. Ia seagama denganku jadi aku tidak khawatir tentang perbedaan keyakinan di antara kami. Tentang hubungan kami semua orang di desa ini sudah mengetahuinya. Bagiku jika ditanya laki-laki sempurna adalah dia, dia sangat baik padaku dan kakek, pada tetanggaku pun dia baik. Dia tinggal sendirian di desa ini jarak tempat dia tinggal sedikit jauh denganku ia berada di RT 01 sedangkan aku di RT 07. Dia sering mengunjungiku di rumah. Yang aneh padanya bahasanya tidak seperti kebanyakan orang Jakarta lainnya, ia lebih mirip orang Malaysia. Ketika ku tanya tentang itu ia hanya tersenyum dan berkata bahwa waktu kecil ia pernah tinggal di Kalimantan yang dekat dengan Malaysia sampai ia lulus SD. Setelah itu aku tidak bertanya lagi yang terpenting dia adalah milikku dan tidak pernah menipu atau membohongiku. Sekarang umurku sudah 19 tahun. Aku lepas sekolah setelah SMP karena kakek tidak sanggup lagi membiayai sekolahku, mengingat pekerjaanya sebagai penggali batu di sungai yang penghasilannya tidak seberapa tapi dia tetap selalu berusaha memenuhi kebutuhannku. Dia menjadi pengganti kedua orang tuaku yang meninggal karena kecelakaan ketika aku masih berumur dua tahun, sedangkan nenekku meninggal baru 5 tahun yang lalu.
 “Nirmala … sungguh kau tak tahu arti nyanyian itu? Tanya Rei lagi seakan-akan tidak percaya dengan jawabanku.
“Apa aku terlihat seperti orang berbohong pada mu Rei? Jawabku kemudian sambil menatapnya.”Lalu untuk apa kau bertanya tentang arti lagu itu?” tanyaku lagi, heran.
“Aku hanya ingin tahu saja Nirmala, tak bolehkah ? Dia balik bertanya padaku.
“Oh .. tidak mengapa nanti ku tanyakan pada kakek, ia pasti tahu artinya karena dia memiliki catatan dan arti dari lagu ini” jawabku kemudian. Ku lihat dia tersenyum seakan-akan telah mencapai keinginan yang selama ini didamba-damba.
“Terima kasih ya sayang “ ucapnya sambil mencubit pipiku.
Setelah pertunjukan okolan selesai ia mengantarku pulang dengan motornya. Sebelum ia puang ia masih duduk di depan teras menunggu sampai kakekku pulang baru ia pulang. Ketika akan masuk ke dalam rumah ku lihat tas hitam di atas kursi tempat yang tadi diduduki Rei . kubawa tas itu ke dalam rumah. Dasar kau pelupa, ujarku dalam hati. Ku bawa tas itu ke kamar lalu kubuka, kulihat semua yang ada di dalamnya. Sungguh aku kaget melihat apa isi tas itu, aku hampir mati berdiri. Hari ini dunia tidak berpihak padaku.
***
Pagi-pagi sekali Rei datang ke rumahku. Ekspresi wajahnya biasa saja seakan-akan semuanya baik-baik saja, dengan wajah dingin aku menemui Rei.
“Kau berbohong padaku” ucapku tanpa menyuruh ia duduk.
“Aku berbohong apa padamu Nirmala?” tanyanya sedikit kaget.
“Jelaskan padaku apa tujuanmu di desa ini Salim !” Ucapku dingin. Rei Kaget mendengar aku menyebut nama aslinya.
“Tujuanku adalah kamu” jawabnya tanpa melihat wajahku.
“Hemh, dalam keadaan seperti ini pun kau masih berbohong padaku” ujarku sambil mendengus.
“Aku tidak berbohong padamu” jawabnya lemah sambil tertunduk lalu kemudian melirikku,
“Apa kau mencintaiku ?” Tanyaku lirih.
“Ya” jawabnya hampir tidak terdengar.
“Apa kau mencintaiku?” tanyaku lagi dengan intonasi lebih tinggi.
“Aku sangat mencintaimu Nirmala” jawabnya sambil menatapku tajam.
“APA KAU MENCINTAIKU ?!” Tanyaku dengan berteriak, orang yang lewat di depan rumah menatap kami heran, mungkin mereka mengira ini masalah percintaan biasa, tapi tidak ini masalah yang sangat serius. Masalah ini bukan hanya tentang aku dan laki-laki di depanku ini, tapi juga dengan negeriku ini.
“DEMI IBU YANG MELAHIRKANKU DAN ALLAH YANG MENCIPTAKANKU AKU MENCINTAIMU NIRMALA !!”
“LALU APA GUNANYA SEMUA INI, BISAKAH KAU JELASKAN PADAKU BAHWA SEMUA INI BOHONG !! Teriakku sambil melempar kertas-kertas yang ku keluarkan dari tasnya yang tertinggal di rumah semalam, kertas-kertas itu terlempar tepat ke arah mukanya. Ia kaget melihat kertas-kertas berisi syarat-syarat pengakuan kesenian UNESCO, data-data tentang kesenian okolan yang ia tulis, serta KTP asli miliknya. “Kau tidak mencintaiku, kau hanya menginginkan sesuatu dariku” ucapku sinis padanya.
“Aku mencintaimu Nirmala” ucapnya, smbil menatapku.
 “Kalau kau mencintaiku, tinggallah di sini bersamaku dan jangan pernah kembali lagi ke negaramu.”
“Tapi aku juga mencintai negaraku Nirmala”
“Persetan dengan negaramu” Ucapku sinis sambil mentapnya tajam.
“Tinggallah bersamaku di negaraku, kau akan hidup bahagia Nirmala” ucapnya sambil memegang tanganku.
“Lupakan semua tentang kita”
“Kau serakah Nirmala, negaramu memiliki berjuta-juta kesenian. Setiap daerah yang ada di sini memiliki kesenian adat dan istiadat berbeda. Jadi jika aku hanya mengambilnya satu saja itu tidak akan berarti apa-apa bagi negaramu” ujarnya datar padaku.
“Kau yang serakah! Tidak cukupkah kau dan negaramu mengambil Ambalat dari kami ?! tarian tor-tor kalian akui menjadi milik kalian. Batik hampir kalian ambil jika kami tidak bertindak, lalu siapakah yang serakah negaraku atau negaramu?!” balasku berapi-api.
“Aku akan menggantinya dengan uang Nirmala, aku bukan hanya sekedar mengambil saja”. pernyataannya mengagetkanku.
“Uang katamu ! kau pikir kau siapa bisa mengambil seenaknya saja. kau pikir kami penjual hah !? ucapku sambil menunjuk-nunjuk mukanya dengan geram, terang saja dia kaget selama mengenalku dia tidak pernah melihatku semarah ini, dia hanya mengenalku dengan sosok gadis yang lembut, tidak pernah marah wajar jika dia sangat mencintaiku.
“Kau pikirkan baik-baik apa negaramu peduli dengan okolan  yang kalian miliki, apa mereka pernah berniat untuk menjaga dan melestarikannya, tidak Nirmala tidak ! bahkan mereka tidak peduli  dengan kesenian itu. Apa gunanya kau mempertahankan sedangkan si Empunya sendiri tak tahu dengan apa yang mereka miliki” kali intonasi Salim lebih tinggi.
“Aku tidak peduli mereka tahu atau tidak, aku hanya ingin menjaga apa yang ku miliki dan tidak akan pernah membaginya dengan negaramu” ucapku datar, kali ini intonasi suaraku lemah. Terbesit dalam pikiranku membenarkan perkataan Salim, ya pemerintah tidak peduli akan semua ini jadi apa gunanya aku bertahan sendiri sedangkan si empunya tidak tahu menahu. Tapi perasaan benciku terhadap Malaysia sudah tidak dapat dibendung lagi apapun alasannya aku tidak akan pernah berniat untuk membagi apa yang dimiliki negara ini dengan mereka.
“Pikirkan baik-baik Nirmala” ucap Salim kemudian merangkul bahuku.
“Salim negaraku adalah Negara hukum. Pemalsuan nama dan berusaha mengambil apa yang dimiliki negara ini akan berurusan dengan polisi. Jadi sebelum aku berniat untuk melaporkanmu pada pihak yang berwajib segera pergilah dari hadapanku” ucapku lemah pada Salim. Air mataku hampir tumpah jika aku tidak menahannya. Sebenarnya aku ingin dia di sini siapapun dia dan dari manapun  dia, karena aku sangat menyayanginya. “Pergilah Salim dan jangan pernah kembali lagi” suruhku sambil mendorongnya keluar ke halaman rumah.
 “Apa di antara kita hanya aku yang mencintaimu, tidak kah kau mencintaiku juga Nirmala?”
Tanya salim sambil memegang pundakku dan menatap wajahku dalam-dalam.
“Tidak” jawabku pendek dan membuang muka.
“Baiklah katakan pada kakekkmu suruh orang di desa ini berkumpul dan hakimi aku, aku tidak peduli karena semua ini salahku” ucapnya ada nada kekecewaan di sana. Lalu dia pergi
***
Malam harinya semua orang berkumpul, termasuk Pak Matrei, kakekku juga di sana tanpa Pak kepala desa musyawarah ini berjalan dengan sendirinya, entah kemana Pak kepala desa itu kami tidak tahu. Aku tak tahu bagaimana nanti jadinya, arsip-arsip tentang lagu kromo inggil yang dinyanyikan oleh Pak Materi semua ada di kakekku, arsip itu hanya berupa lembaran kertas yang ditulis dalam huruf jawa, dan diturunkan secara turun temurun oleh keluarga ini. warnanya sudah kuning kecoklatan dan tulisannya juga hampir pudar. Aku khawatir kakek dipaksa oleh orang-orang untuk menyetujui permintaan Salim. Tapi aku sudah mewanti-wanti pada kakek untuk tidak tergoda dengan iming-iming uang yang akan diberikan Salim.
“Baiklah akan saya beritahu tujuanku di desa ini, selain Nirmala…” Salim melirikku sebentar lalu melanjutkan perkataannya lagi. “ Aku berasal dari Malaysia nama asliku adalah Salim dan mengadakan penelitian tentang kesenian di desa yang nantinya akan mendapat pengakuan dari dunia. Jika kalian setuju dengan apa yang aku ajukan, aku akan memberi imbalan uang senilai 20 juta sebagai gantinya” ucap Salim kemudian tertunduk.
“Wah .. 20 juta lumayan nanti kita bagi bersama kelompok okolan” sambut Pak Matrei spontan yang membuatku kaget. Sekali lagi Salim melirikku dengan ekspresi datar.
“Ya .. aku juga setuju” sahut salah seorang dari kelompok okolan yang disambut dengan anggukan oleh yang lain.
“Aku tidak setuju, bagaimanapun okolan adalah milik negara yang tidak dapat ditukar dengan uang” belaku. Semua orang menatapku dengan heran sekaligus kaget.
“Apa maksudmu Nirmala, uang 20 juta berapa tahun dan berapa truk batu yang akan dikumpulkan kakekkmu untuk mengumpulkan uang sebanyak itu” ucap Pak Matrei sambil menatapku tajam ke arahku.
“Malaysia sudah mengambil Ambalat apa kalian tidak marah pada mereka?!” tanyaku kemudian.
“Heh Nirmala itu bukan tugas kita menjaga Negara ini, lagian pemerintah juga tidak peduli dengan kita. Kau lihat Sarmili warga desa sebelah mati gara-gara kelaparan, lalu apa kau lihat pemerintah menangani kelaparan di desa sebelah. Entah siapa yang akan mati minggu ini karena kelaparan, kau tidak usah muluk-muluk dalam hidup ini, kasian kakekmu yang sudah tua seharusnya kau berpikir jernih tentang kehidupan selanjutnya. Bukan menjadi pahlawan di siang bolong seperti ini”. kali ini pak Matrei berkata mengenai ulu hati. Perkataannya memang benar tidak ada yang peduli dengan kami. Yang mereka butuhkan adalah uang hanya untuk bertahan hidup. Jika mereka hidup mewah seperti pejabat yang hidup dengan uang korupsi. Mungkin mereka akan bisa berpikir untuk menjaga apa yang dimiliki Negara ini. wajar saja jika mereka begitu.
“Sekarang terserah Pak Rawi, sebagai keturunan pemilik okolan dan kami harap Pak Rawi bisa menerima permintaan nak Salim.” Ucap salah seorang anggota okolan menyebutkan nama kakekku.
“Keturunannku adalah Nirmala jadi tindakan Nirmala tadi adalah jawabanku” jawab kakek tenang. Semua mata menatap kami yang duduk bersebelahan. Aku tahu mereka geram dengan tindakan kami. Musyarah ini selesai pada jam setengah dua belas malam yang di mulai sejak habis magrib, dengan beberapa perdebatan yang menerkam aku dan kakek. Ketika akan pulang Pak Matrei menghampiriku yang sedang bersama Salim akan pulang ke rumah, meskipun hubunganku dan Salim sedang tidak baik tapi tidak dapat dipungkiri kami saling menyayangi dan tidak tahu bagaimana nanti jadinya pisah atau tetap bersama dengan masalah yang rumit ini melibatkan misi Negara masing-masing.
“Aku tidak pernah berniat untuk melukai siapapun Nirmala, jadi sebelum aku berbuat sesuatu padamu pikirkan baik-baik tentang permintaan Salim.” Ucapnya datar tanpa melihatku.
“Apa yang akan kau perbuat pada cucuku?” Tanya kakek dari arah belakang kami.
“Kau tidak usah membelanya dan jangan kau pungkiri bahwa kau juga membutuhkan uang itu” ucap Pak Matrei pada kakek sinis.
“Nirmala jangan pedulikan ucapannya pulanglah sudah larut malam” perintah kakek. Aku dan Salim pun pergi meninggalkan kakek dan Pak Matrei, di tengah perjalanan Salim bertanya.
“Sepertinya Pak Matrei ingin melukaimu Nirmala?” ucapnya sambil menatapku.
“Ya mungkin dia akan menyantetku jika aku tidak menuruti kemauanmu” jawabku sambil menghentikan langkahku, lalu menatap Salim dalam-dalam.
“Apa dia sekejam itu?” Tanyanya lagi.
“ya “ jawabku pendek.
“Nirmala maafkanku membuat hidupmu rumit.” Ucap Salim sambil memelukku.
“Bukankah ini yang kau mau Salim, ketika aku mati nanti kau bisa leluasa mengambil segala sesuatu yang kau mau di negeri ini” ucapku lirih, air mataku menetes tak dapat dibendung lagi. Salim menghapus air mataku lalu memelukku lagi.
***
Pagi-pagi sehabis sholat subuh aku membuka jendela kamar agar udara di dalam tidak pengap. Namun aku hampir mati berdiri pada saat itu.
“Arrrgggghhhhh ….!!!” Aku menjerit ketakutan melihat bangkai ayam penuh darah tergantum di luar jendela. Kakek menghampiriku dia kaget namun sejurus kemudian dia mebuang bangkai ayam yang tergantung di luar jendela kamarku. Ini pertanda bahwa kematian mengancamku.
“Tenang nak ..” ucap kakekku sambil memelukku yang masih ketakutan. Lalu kemudian dia pergi keluar rumah. Aku tahu dia menuju ke rumah Pak Matrei siapa lagi di desa yang berprilaku aneh selain dia. Beberapa saat setelah kakek pergi Salim datang. Aku menceritakan perihal bangkai ayam itu, dia kaget ketika kujelaskan apa arti dari teror itu. Dia berkali-kali meminta maaf padaku.
***
Malam itu malam jumat manis, entah kenapa aku tidak bisa tidur. Lalu ku buka jendela kamarku, ada banyangan orang berjalan merinding bulu kudukku. Apalagi di desa ini terutama di RT ku masih percaya dengan ilmu hitam, antar percaya dan tidak tapi beberapa kenyataan di sekelilingku banyak orang mati yang tidak diketahui penyakitnya apa, dan anehnya lagi mereka mengeluarkan paku, jarum dan jenis besi lainnya dari mulut mereka. kenyataan itu memaksaku untuk percaya. Srek.. srek terdengar orang mengorek-ngorek tanah di samping luar jendela kamarku, ku longokkan kepalaku sedikit keluar alangkah kagetnya ku lihat Pak Matrei bertelanjang bulat sambil menggali tanah di luar jendala, dia tidak melihatku lalu aku langsung lari ke ranjang menutupi tubuhku dengan selimut. Aku gemetar seumur hidupku aku belum pernah melihat orang yang bertelanjang bulat seperti itu. Benar ternyata ilmu pelet itu nyata.  
***
Paginya kakek menggali tanah bekas galian Pak Matrei yang sudah tertutup rata. Tidak ditemukan apa-apa di sana. Entahlah aku bingung sendiri. Akhirnya beberapa minggu kemudian aku sakit panas kadang aku kedinginan. Salim sibuk merawatku sedangkan kakek kebingungan takut terjadi apa-apa denganku dia jarang tidur malam menungguiku sampai aku tertidur.
Akhirnya pada suatu malam Pak Matrei menjengukku, ku lihat raut wajah kakek tidak bersahabat atas kedatangan Pak Matrei.
“Nirmala kalau kau mau menerima tawaran Salim aku akan membantu menyembuhkanmu” ucapnya datar, pada saat itu aku sudah sakit parah tubuhku yang dulunya ramping, berkulit kuning langsat, sekarang hanya tinggal tulang kurus sekali, kulitku pucat tak seindah dulu. Wajahku yang biasanya tampak manis jika dilihat sekarang pucat pasi seperti mayat hidup.
“Jika aku harus mati pun aku tak kan menyetujui permintaan Salim” ucapku tegas.
“Kau keras kepala sama seperti kakekmu” ucapnya dengan nada sinis, sambil melirik kakekku.
“Kau apakan Nirmala Matrei?.” Tanya kakekku tajam pada laki-laki berwajah gelap di depanku ini.
“Hahahaha kau selalu menuduhku yang bukan-bukan” Jawabnya lalu pergi.
“KALAU SAMPAI TERJADI APA-APA DENGAN NIRMALA AKAN KU CONGKEL MATAMU !! Teriak kakekku murka. Matrei hanya tertawa mendengar teriakan kakekku. Salim yang kebetulan ada di sini tertunduk lesu, sepertinya dia merasa bersalah atas sakitku.
“Salim tidak bisakah kau berhenti untuk meneliti tentang okolan ? lihatlah karena ulahmu Nirmala sakit parah.” Ucap kakek dengan nada kesal. Salim hanya terdiam membisu.
***
Paginya aku langsung mengigil sesekali aku berteriak karena sakit di bagian perutku, terkadang pusing menyerang kepalaku dan tak terhingga sakitnya. Minggu lalu aku dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang hanya sakit biasa, tapi ketika memeriksa perutku yang mengeras seperti batu dokter bilang belum diketahui jenis penyakitnya. Akhirnya uang persediaan kakek untukku pun sudah habis, kakek tidak mampu mengobatiku lagi atau hanya sekedar periksa lagi ke dokter.
“Nirmala ini uang untukmu berobatlah ke dokter agar kau sembuh” ucap Salim sambil memberikan sepuluh lembar uang lima puluh ribuan.
“Tidak Salim” jawabku pendek.
“Uang ini tidak ada sangkut pautnya dengan okolan itu, ini dariku sebagai orang yang menyayangimu.” Ucapnya meyakinkanku. Aku tidak menjawab juga tidak mengambil uang pemberian Salim.
“Salim jika aku mati apa kau akan tetap di sini?” tanyaku lemah, Salim kaget dengan pertanyaanku.
“Maksudmu apa?” Tanyanya seraya memegang tanganku.
“Sakitku sudah parah, jangankan berjalan berdiri saja aku sudah tidak kuat” ucapku lagi.
“Kau tidak boleh mati, aku akan merawatmu sampai kau sembuh lalu kita akan menikah dan hidup bahagia.” Salim menangis, untuk pertama kalinya ku lihat ia menangis.
“Lalu bagaimana dengan penelitianmu tentang okolan itu? Tanyaku sambil menatapnya.
“Entahlah Nirmala sepertinya aku tak sanggup lagi melihatmu seperti ini, semua ini karena aku, semua ini salahku” jwabnya terbata-bata sambil menangis sesenggukan, ia menciumi tanganku.
“Salim apakah kau menyayangiku?” tanyaku sambil tersenyum padanya.
“Kenapa kau selalu bertanya begitu padaku? Apa karena aku sempat membohongimu kau meragukan cintaku?” Tanya Salim balik. “Sungguh aku sangat takut kehilanganmu Nirmala, aku mohon jangan pergi temani aku Nirmala aku membutuhkanmu dalam hidup ini.” Ucapnya sambil terus menangis.
“Tolong kau jaga kakekku Salim, jika kau sudah pergi dari Negara ini, tengoklah dia sesekali” pintaku pada Salim, Salim hanya tertunduk. “Salim …” panggilku. Salim menatapku lalu mendekapku. “Salim aku mencintaimu “ Ucapku pelan, Salim tambah erat memelukku.
“Nirmala aku mohon bertahanlah” Salim membopongku hendak membawaku ke rumah sakit, air matanya menetes ke pipiku.
“Salim berhentilah tidak ada gunanya kau membawaku ke dokter semuanya akan sia-sia” Pintaku. Salim kemudian berhenti ketika sudah sampai di halaman rumah, kakek mengikuti kami dari belakang, sekilas ku lihat ia menangis.
“Salim … jika aku mati aku ingin mati dalam kebaikan, Selain Tuhan yang menciptakanku dan orang tua yang melahirkanku, di dunia ini kau dan kakeklah yang aku sayangi, jadi jika aku mati aku berharap kau menjaga kakek untukku” ucapku pelan setelah itu aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Sekilas ku dengar jeritan kakek dan Salim memanggil-manggil namaku.


0 komentar:

Posting Komentar