Bulan
cermin malam, bintang pelita gulita. Terisi dalam toples kemunafikan.
Samar-samar antara aku dan kamu, antara kenduri jadi duri. Oh...sembiluan daku,
hiruk-pikuk roh bernyawa, boyongi monofobia malam. Analogi jiwa tak mungkin,
resah teraduk memimpin. Glosarium tanpa kata, memuat makna tanpa abjad.
Oh...bulan masihkah jadi bulan? Bintang masihkah jadi bintang?
Pertanyaan
itu terus mengusik malamku.
“Wahai
jiwa yang dipenuhi cinta, berhentilah menghantuiku!”, teriakku disaksikan bulan
dan bintang yang tetap membisu, disokongi rumput-rumput yang anestesi akan
keresahan yang menderu.
“Kenapa
kau masih terus memanggilku Mas’ud?”. Tiba-tiba muncul suara yang berdengung
dari langit, dengan wajah yang samar-samar tapi sepertinya aku kenal suara itu.
“Apa?
Kau masih bertanya, kenapa aku memanggilmu?”, jawabku sinis. “Berjuta huruf,
kata dan kalimat aku lontarkan, kau masih saja bertanya kenapa aku masih
memanggilmu?”
“Kau tetap saja seperti ini Mas’ud.
Janganlah kau menghakimiku dengan ilusimu
yang berlebihan itu”, ucapnya entah dengan nada sindiran atau nada untuk
menyadarkanku.
“Tahu apa kau tentang perasaanku,
hah?”, aku coba mengelak.
”Kau
hanya mahluk yang punya jiwa tapi tak berbentuk!”
“Kau belum juga berubah. Aku ini
perasaanmu yang terus menderu itu. Aku tak tahan dengan keresahan jiwamu yang
terus menjadi-jadi. Sudahlah, lumpuhkanlah perasaanmu itu. Mulailah dengan
sesosok bidadari lain, yang mungkin menunggumu disudut gelap sana.”
Clang, cling, clung...
Bunyi-bunyian
tak beraturan menyertai tenggelamnya suara itu. Aku tak bisa berkata-kata,
perasaanku nampaknya berkonspirasi dengan sikon yang ada. Dor! Dentungan jantung mengagetkanku, ternyata aku telah melayang
jauh ke alam imajinasiku yang tingkat tinggi. Ah, untung saja roh ku juga tak
ikut bersama imajinasi yang kelewatan itu.
Malam
kian hening, bulan bintang tetap saja temaniku tanpa sepatah kata, dan aku
masih saja terbaring di atas lautan rerumputan. Mungkin mereka jengkel ada insan
menggangu malamnya, namun ku lihat mereka cuek saja dengan bercumbu mesra
terhempas hembusan angin seakan mengolok akan aku yang tak punya dermaga untuk berlabuh.
Tak
sengaja ku rogohi saku, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Aku coba
mengeluarkannya dengan lembut. Oh ternyata hanya sepucuk kertas yang tak
bermakna tersimpan rapi di dalamnya.
“Kenapa?
Kau takut rahasiamu terbongkar Mas’ud?”, tanyanya mengagetkanku.
“Maksudmu?”
“Tak
usah kau imitasikan kebodohanmu itu! Kau terlalu banyak menyimpan rahasia yang
seharusnya tak menjadi rahasia”, jawabnya sinis padaku.
“Hey!”
Aku banting kertas itu dan ku ambil lagi sembari molototinya.
“Tahu
apa kau tentang perasaanku? Kau dengan lantangnya menyeruku untuk membongkar
rahasia ini, sedangkan kau tak melakukan apa-apa buatku. Kau hanya benda mati
yang hanya bisa berkata-kata lewat tinta hitam yang ku torehkan”, lanjutku
dengan nada gemetar.
“Ah,
kau pintar sekali mencari alasan tuk menutupi kemunafikanmu Mas’ud. Padahal aku
telah siap jadi sekutumu, tapi ternyata kau hanya seorang pecundang sampah!”
“Apa
kau bilang pecundang?”
“Ya,
kau pecundang Mas’ud.”
“Ah
baiklah! Tapi begini wahai kau selembar kertas putih yang ku torehkan tinta
kepecundanganku. Aku yang punya perasaan ini, kau tak pernah tau bagaimana
perasaan yang begitu dalam sehingga hatiku jadi beku karenanya.”
“Hahahaha”,
dia tertawa sembari mencoba memotong pembicaraanku.
“Diamlah
dulu! Beri aku kesempatan menjawab, agar kau tak terus menghakimi atas
kepecundanganku!”
Suasana
menjadi semakin tegang dalam keheningan, rerumputan yang tengah asik bercumbu
terhenti sejenak. Bulan Bintang yang acuh mulai tertarik akan aku. Mereka mulai
menyimaknya dengan saksama. Hanya silir angin membentuk nada lirih bersama
jangkrik melatunkan lagu romantis tuk ceritaku malam ini.
“Baiklah
Mas’ud, teruskan!”, jawabnya sok bijak.
“Aku
tidak bermaksud menyimpannya kian lama. Aku hanya menunggu waktu yang tepat
untuk membongkar semua rahasia ini agar menjadi sebuah kisah indah yang tidak
berakhir menjadi kisah fiktif belaka, bak Romeo dan Juliet”, lanjutku dengan
penuh perasaan.
“Hmm...begitu
ya? Maafkan aku Mas’ud, yang tak paham maksudmu dan hanya menghakimimu. Kini
aku mengerti.” Sesalnya nampak serius.
“Tak
apa. Asalkan kau mau jadi sekutuku lagi, tak lebih.”
“Dengan
senang hati, tuanku Mas’ud.”
Clang,
cling, clung...
Ternyata
percakapan itu membuahkan hasil, cukup buatku bisa menarik secuil senyuman. Ya
ini sebuah proses, aku harus membentuk senyawa baru dalam diri agar kuat
mememerangi kepecundanganku. Aku kantongi lagi ia dengan lembut. Setelah surat
di saku itu kembali menjadi sekutu lagi, bulan bintang nampak makin antusias
mengikuti alur ceritaku, meski tetap saja tak bergumam. Pertanyaan yang pernah
ku lontarkan, bulan masikah jadi bulan? Bintang masihkah jadi bintang? Nampaknya mulai tersiasati jawaban
meski ambigu. Legitimasi hati kian jelas. Propaganda jiwa tak lagi
dipertanyakan.
“Mas’ud!
Kaukah itu?”
Muncul
lagi sesosok suara, tapi ini nampaknya begitu nyata. Buktinya aku tidak lagi
berada di alam bawah sadarku. Jantungku menderu begitu cepat, tak biasanya
seperti ini. Lebih menyiksa tapi menyejukkan jiwa suara itu, seakan memercikkan
neuron baru menggantikan yang telah padam. Lantas apa ini?
“Siapakah
kau gerangan?”, tanyaku canggung.
“Nur
Baiti. Kau kenal?”, jawabnya lembut.
“Nur
Baiti? Jangan bercanda wahai suara yang begitu lembut kiranya. Tak mungkin itu
kau, ini hanya imajinasiku yang kelewat batas saja kan? Tak mungkin sekejap kau
datang dari dimensi yang berbeda, kemudian memberiku harapan semu.”
“Kenapa
kau begitu munafik seakan aku orang baru dalam hidupmu? Ini benar aku Mas’ud,
Baiti!”, terangnya.
“Bagaimana
mungkin?”, aku masih bertanya seakan benar-benar tak percaya kalau itu
benar-benar adalah dia.
“Bukalah
matamu Mas’ud. Kemudian, lihatlah ini benar-benar aku. Bulan bintang berkoloni
menghantarkan risaumu padaku. Membongkar rahasia yang kuat kau gemboki dengan
kepecundanganmu.”
“Apa?
Bulan bintang berkoloni menyampaikan risauku padamu? Kau sungguh berdusta.
Ketika aku bersandar diatas lautan rerumputan, diselimuti udara malam menusuk,
di bawah lautan langit gulita. Bulan
bintang jelas tak pernah memperhatikanku, apalagi memanifestasikan sinarnya untukku.
Sama sekali tak pernah!”, ucapku dengan bercucuran air mata.
“Kau begitu cengeng rupanya. Bukalah matamu Mas’ud!”
Ia begitu dekat, perlahan membelai rambutku, kemudian
mengusap segelintir air mata yang tak tertahankan. Ku buka mataku, dan benar
saja, ternyata wajahnya tidak berubah, masih saja begitu anggun dan begitu
bersahaja, dialah Nur Baiti. Gadis yang selama ini ku kagumi.
“Ii…ini…ini…hanya halusinasiku saja. Apa ini benar
kau?”, tanyaku tak percaya.
“Kau tak salah Mas’ud.”
“Bukannya kau telah mati? Apa kau mau menghantuiku
Baiti? Atau kau mau membalas dendammu padaku? Aku tak bersalah atas kematianmu
Baiti.”
“Kau tak usah mengelak Mas’ud. Bulan dan bintanglah
yang memataimu dan bersekutu denganku. Aku ingin membalas dan kau bersalah!”
dengan nada tersedu ia ucapkan itu.
“Ma…maksudmu?”
“Ya, aku ingin membalas cintamu yang begitu kuat kau
jaga, dan kau bersalah karena masih saja memendam perasaanmu itu hingga
sekarang aku berada di dimensi yang lain. Padahal aku telah lama menunggumu untuk
mengucapkan itu.”
“Apa? Benarkah itu?”
“Ya, kau tak salah Mas’ud.”
“Andaikan aku tahu kalau kaupun memiliki rasa yang
sama, tak ku biarkan si biadab itu memilikimu, dan merenggut nyawamu yang
begitu berharga bagiku. Semuanya sudah terlambat untukku sesali.”
“Tidak ada yang perlu kau sesali Mas’ud. Yang harus
kau lakukan hanyalah melupakanku dan mencari dermaga lain untuk kau berlabuh.
Aku cukup tersiksa melihatmu terus mengenangku.”
“Tapi aku masih mencintaimu Baiti.”
“Tidak! Cintamu tak berhak lagi untukku. Kau dan aku
telah berbeda Mas’ud.”
Entah kenapa, malam itu dipenuhi air mata. Pada hal
tidak ada yang perlu ditangisi. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana caranya
agar aku dan Baiti tidak berbeda, dan bisa memadu kisah cinta meski tidak
sesuai skenario yang aku rencanakan sejak awal. Terbesit sebuah bisikan licik,
yang menyuruhku untuk mencopot belati yang selalu aku bawa. Aku memandang ke
arah bulan dan bintang sebagai saksi, terlihat mereka mengusap air matanya dan
seakan ingin menyuruhku agar tak melakukan tindakan bodoh, pada hal ini adalah
tindakan jenius agar aku dan Baiti bisa bersatu. Ah, biarlah bulan tetap
menjadi bulan, dan bintang tetap jadi bintang. Biarlah rerumputan menggerutu
atas keputusanku.
“Baiti, belati inilah menjadi penyatu kita.”, ku
ucapkan tanpa ragu. “Aku tak ingin menjadi Arjuna yang selalu mengembarakan
cintanya. Aku tak ingin menjadi Habibie pengecut yang mengenang Ainun dengan
kata-kata cengeng tentang cinta. Aku ingin kisah kita melebihi Romeo dan
Juliet, menjadi kisah cinta sejati.”
Ku lihat Baiti tak berkutik, nampaknya dia tak mampu
melarangku. Perlahan ku angkat belati itu, agar bulan dan bintang benar-benar
menjadi saksi. Ku arahkan mata belati itu tepat jantung dan hatiku.
“Wahai kau bidadari indah! Inilah bukti cintaku.”,
teriakku menggema.
Clang, cling, clung…
Belati itu benar-benar manjur. Ia telah menyatukanku
dengan Nur Baiti, si gadis pujaan. Kisahku akhirnya menjadi kisah cinta sejati,
dan orang tak akan mengenang Romeo dan Juiet ataupun Habibie dan Ainun lagi
sebagai cermin cinta sejati, tetapi Mas’ud dan Baiti. Ya, tak ada yang mampu
memisahkan. Tinggal Tuhanlah yang menjadi hakim penentu akhir cinta kami.
SINOPSIS
Cerpen Tengah Malam ini
menceritakan tentang seorang pemuda yang bernama Mas’ud, yang kuat menggemboki
rasa cintanya kepada seorang gadis yang bernama Nur Baiti. Tanpa ia ketahui, ternyata
Baiti juga diam-diam menyukainya. Namun karena kepecundangannya itu Baiti telah
di lamar oleh seorang Pria, itu yang membuat ia kehilangan dan sering
berhalusinasi, atau dapat dikatakan stress. Apalagi setelah ia tahu Baiti telah
meninggal gara-gara di Bunuh oleh calon suaminya, Mas’ud semakin merasa
kehilangan, berhari-hari ia hanya duduk termenung di sebuah tebing di belakang
rumahnya. Pada suatu ketika arwah Baiti datang menemuinya yang tengah menyesali
kepecundangannya. Mas’ud awalnya tak percaya bahwa itu benar-benar Baiti gadis
pujaanya, ia berpikir itu hanyalah imajinasinya berlebihan, namun ternyata itu
benar-benar adalah Baiti. Setelah ia mengetahui itu benar-benar nyata, Mas’ud
mengeluarkan belati yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi, kemudian ia
menusukkan belati itu ke arah jantung dan hatinya. Dengan maksud agar ia dan
Baiti bisa memadu kasih meski di dimensi yang berbeda.
Pada
akhirnya, Mas’ud dan Baiti benar-benar bersatu, meski berbeda dengan skenario
yang diinginkan Mas’ud selama ini. Kisah cinta Mas’ud dan Baiti akhirnya
menjadi kisah cinta sejati, dan orang tak akan mengenang Romeo dan Juiet
ataupun Habibie dan Ainun lagi sebagai cermin cinta sejati, tetapi Mas’ud dan
Baiti. Ya, tak ada yang mampu memisahkan mereka. Tinggal Tuhanlah yang menjadi
hakim penentu akhir cinta mereka.
BIODATA
Nama : Adisan
Jaya
Tempat,
Tanggal lahir : Bima, 27
Januari 1995
Alamat :
Jl. Raya Tlogomas Gang 11-C nomor 23
Kelas : V-B
Jurusan :
Prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
No.
Hp :
087759737444
0 komentar:
Posting Komentar