Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan
terkenal di Indonesia.Sastrawan yang lahir di Blora – Jawa Tengah pada 6
Februari 1925 ini karyanya yang kental dengan kebudayaan serta politik banyak
diminati oleh masyarakat.
“Kalian
boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa
saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” (Magda Peters, 233).Kutipan tersebut adalah kutipan kalimat pada salah
satu novel Pramoedya Ananta Toer. Dia seorang sastrawan yang karya-karyanya
sangat menginspiratif banyak orang.
Bahkan banyak buku-bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Asing. Lelaki yang
benama lengkap Premoedya Ananta Toer ini memang gemar sekali menulis, baik
artikel maupun menulis fiksi atau novel. Dia meneruskan pada Sekolah Kejuruan
Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di
Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, dia
mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di
akhir perang kemerdekaan. Dia menulis cerpen dan buku sepanjang karir
militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada tahun 1948 dan 1949. Pada 1950-an dia
sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat
kembalinya dia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya
penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam
karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap
korupsi. Dia menciptakan fiksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Paman
Pram merupakan kritikus yang tidak mengacuhkan
pemerintahan Jawa pada keperluan dan
keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa harus dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an dia ditahan
pemerintahan Soeharto karena pandangan Pro-Komunis Chinanya. Bukunya dilarang
dari peredaran, dan dia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas
pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di sebeluah timur Indonesia.
Selain
pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde
Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai
tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969
- 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di
Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang .
Selama
masa penahanannya di Pulau Buru dia dilarang menulis, namun tetap mengatur
untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4
kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan
kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan
secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar
negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam
bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya
dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan
secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan
tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara
hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur
selama kurang lebih 2 tahun.
Selama
masa itu dia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan
pengalaman neneknya sendiri. Dia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995),
Autobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya
untuk putrinya namun tidak diizinkan untuk
dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Sebenarnya
bukan hanya itu karya-karya Pramoedya yang memiliki kekuatan sastra dan
politik, tetapi masih banyak lagi buku-bukunya yang menyangkut pemikiran serta
kepedulian terhadap rakyat. Pemikiran serta kekuatan sastranya dapat membawa
pembaca melayang dan ingin menjadi pahlawan pembela rakyat. Apalagi pada zaman seperti sekarang ini, mungkin nostalgia dengan
membaca novel lama khususnya karya Paman Pram, sangat cocok untuk keadaan negara
yang saat ini sedang kolep akan politik.
Sekilas
tentang paman Pram, semoga dapat menginspirasi kita semua. Dengan membaca karya
sastranya semoga kita dapat belajar politik dan kekuatan sastra yang takkan
lekang oleh waktu. (Oleh Rudy Hartono)